Selasa, 04 September 2012

TRADISI NYADRAN

TRADISI SADRANAN: Kerabat Trah Mangkunegara Nyadran ke Petilasan Gunung Gambar

|
Rombongan pembawa gunungan mendaki bukit menuju Petilasan Gunung Gambar yang menjadi saksi perjuangan RM Said atau Pangeran Sambernyawa di Gunungkidul, Senin (16/7/2012). (JIBI/Harian Jogja/Apriliana Susanti)

Kerabat dari Trah Mangkunegara menghadiri upacara adat sadranan di Dusun Gunung Gambar, Desa Kampung, Ngawen, Gunungkidul, Senin, (16/7/2012). Beberapa pejabat dinas dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan ratusan warga juga turut serta dalam upacara yang digelar setiap tahun itu.
Kedatangan kerabat Trah Mangkunegara yang terdiri atas Ir KRH Hartono Wicitro Kusumo MM dan KRH Pangarsa Negara itu disambut dengan berbagai kesenian tradisi masyarakat setempat. Bersama warga dan para peziarah, kedua kerabat Mangkunegaran itu berjalan kaki mengikuti arak-arakan gunungan menuju petilasan Raden Mas Said atau Mangkunegara I atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa di puncak tertinggi Gunung Gambar sejauh 700 meter dari pintu gerbang.
Mangkunegara menyerahkan gunungan tersebut kepada juru kunci Gunung Gambar, Podo Winarno untuk kemudian didoakan sebagai sarana kenduri. Baru setelahnya, gunungan dan berbagai ubarampenya itu dibagikan kepada warga dan para peziarah untuk dimakan bersama-sama. “Sadranan ini awalnya merupakan kiriman makanan untuk Raden Mas Said yang bertapa selama masa perjuangan melawan penjajah Belanda dulu. Sekarang, upacara mengirim makanan ini diteruskan setiap pasaran Senin Legi di bulan Juli yang dihadiri pejabat kraton Mangkunegaran termasuk Mangkunegara IX,” jelas Iman Tiyoso, 93, yang pernah menjadi juru kunci Gunung Gambar selama 25 tahun.
Dalam setiap kali penyelenggaraannya, upacara adat sadranan selalu dibanjiri oleh para peziarah yang ingin ngalap berkah. Mereka tidak hanya berasal dari Gunungkidul saja, namun juga dari beberapa daerah seperti Klaten, Solo, dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Tidak sedikit dari para peziarah tersebut yang ingin agar keinginannya dikabulkan dengan mendatangi petilasan tersebut.

Warga dengan antusias mengikuti prosesi sadranan di Petilasan Gunung Gambar. (JIBI/Harian Jogja/Apriliana Susanti)

“Upacara ini juga merupakan wisata spiritual bagi beberapa peziarah. Banyak dari mereka yang percaya kalau ke sini bisa menyembuhkan penyakit mereka ataupun mereka yang ingin agar naik jabatan,” jelas Giyanto, salah satu peziarah asal Wonosari.
Sadranan sendiri telah terdaftar dalam cagar budaya Yogyakarta yang secara otomatis menjadi tanggung jawab kabupaten Gunungkidul. Hal tersebut semakin membuka peluang wilayah Gunung Gambar untuk dijadikan sebagai desa wisata.
“Beberapa waktu lalu sudah kami usulkan ke gubernur dan ternyata masuk klasifikasi untuk cagar budaya. Otomatis, pertanggung jawaban ada pada kabupaten Gunungkidul. Walaupun sementara ini baru ada reog dan jathilan, diharapkan tradisi lain yang mendukung di sini juga bisa dikembangkan. Arahnya nanti adalah menjadi desa wista,” jelas Suharto selaku kepala Bidang Kebudayaan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul.

SUMBER : HARIAN JOGJA.COM

Tawuran Antarwarga Marak

Tawuran kembali marak di Jakarta Pusat. Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat mencatat 20 kali tawuran terjadi sejak Januari hingga Rabu (29/9) kemarin. Namun, belum ada solusi menyeluruh untuk mengatasi tawuran yang umumnya terjadi di wilayah tertentu.
Baku lempar, baik antarwarga maupun pelajar, terjadi di sejumlah tempat, seperti di Kecamatan Johar Baru, Kecamatan Senen, dan Jalan Kramat Raya.
Terakhir, tawuran terjadi di Jalan Tanah Tinggi XII, Selasa lalu. Tawuran tidak hanya saling lempar batu, tetapi juga menggunakan senjata tajam. Tiga orang luka akibat kejadian itu. Sehari sebelumnya, tawuran antarwarga terjadi di tempat yang sama.
Dari keterangan yang dilansir situs web Humas Polda Metro Jaya, polisi menyita sebilah samurai, balok kayu, dan empat selongsong petasan seusai tawuran itu. Tiga pelaku yang masih berusia remaja ditangkap Polsek Metro Johar Baru, yakni IM (16), Zu (16), dan Za (19).
”Dari tawuran yang terjadi sebelumnya, kami juga sempat menangkap beberapa tersangka,” papar Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Hamidin, Rabu.
Permukiman padat
Tawuran yang terjadi antarwarga biasa diawali anak-anak muda. Namun, penyebab tawuran tidak terlalu jelas lagi.
Anak-anak muda itu biasa nongkrong bersama, bahkan hampir 24 jam. Kondisi itu terjadi karena sebagian rumah dihuni lebih dari dua keluarga.
”Mereka biasa tidur bergantian karena rumah sempit, tetapi penghuninya banyak. Nah, sambil menunggu giliran istirahat, mereka nongkrong di pinggir jalan atau di mulut gang,” kata Hamidin.
Kondisi itu membuat masyarakat mudah terprovokasi dan terjadilah tawuran. Selain di Jalan Tanah Tinggi XII, tawuran di Johar Baru juga terjadi antara lain di Jalan T, Kampung Rawa, dan perempatan Jalan Baladewa. Sementara di Kecamatan Senen, tawuran antarwarga juga terjadi di Jalan Kramat Pulo.
Tawuran biasanya terhenti bila kawasan itu dijaga polisi. Polisi juga pernah merazia permukiman seusai tawuran untuk mencari senjata yang digunakan dalam tawuran itu.
”Hal ini bisa menjadi efek jera. Namun begitu polisi pergi, tawuran terjadi lagi. Razia juga tidak bisa kami lakukan terus- menerus karena keterbatasan tenaga. Pekerjaan kami, kan, tidak hanya ini,” ucap Hamidin.
Camat Johar Baru Marsigit berharap pemerintah hingga ke tingkat provinsi bisa memberikan perhatian pada daerah yang kerap terjadi tawuran.
”Penataan permukiman secara menyeluruh bisa membantu mencegah tawuran. Permukiman vertikal, misalnya, bisa membuat orang mempunyai tempat tinggal yang layak sehingga mereka tidak banyak nongkrong di tempat umum,” ucap Marsigit.
Sosiolog Thamrin Amal Tamagola mengatakan, tawuran merupakan bentuk perebutan ruang fisik. Pada beberapa kasus, tawuran juga terjadi karena perebutan sumber ekonomi. Sebagian besar pelaku tawuran adalah anak muda. ”Penyediaan lapangan kerja bagi anak-anak remaja bisa menjadi solusi untuk mencegah tawuran, selain solusi untuk menyediakan tempat tinggal seperti rumah susun.” (ART)

SUMBER : KOMPAS.COM

Selasa, 28 Agustus 2012

SEWU SIJI VERSI DANAR JATMIKO

         SEWU SIJI
 
Artis : danar jatmiko

Aduh Romo - ibu ngapuranen aku
Yen ono salah lan luputku
Tak rumangsani aku duweni dosa
Nganti saiki iseh kroso ning dodo

Rino wengi ra lali tansah ndedonga
Mamuji marang kang kuwoso
Mugo enggal entuk paring pangapuro
Urip tentrem ayem ugo kanti mulyo

Ngendi ono anak wani marang wong tuwo
Yen nganti ono sewu siji sing wani
Ngendi ono anak lali marang wong tuwo
Yen ngerti ono sewu siji sing lali

Suwargoning donya ono sukune wong tuwo
Wong kang tuhu suci gedhe ganjarane